5/9/21

Wabah dalam Kata

 Wabah, istilah singkat namun sarat makna, adalah salah satu dari sekian banyak ketakutan manusia dalam kehidupan ini. Jika ditilik lebih dalam, ternyata kehidupan manusia yang hanya 15 detik dari satu tahun kosmik usia alam semesta ini, bisa jadi merupakan puncak evolusi tertinggi makhluk hidup di jagad raya. Maka, benarkah bahwa manusia adalah Khalifah di muka bumi, dan satu-satunya di alam semesta? Mungkinkah manusia adalah satu-satunya organisme intelektual terhebat, yang akan terus menguasai bumi ini? Jika demikian, mengapa pandemi ada dan apakah umat manusia akan bertahan?

Alam semesta diperkirakan berusia lebih dari 13 miliar tahun, dengan bumi yang merupakan salah satu dari 100 miliar planet di galaksi Bima Sakti, satu dari 200 Milyar galaksi yang ada. Bumi mengelilingi matahari yang juga merupakan satu dari se-milyar triliun bintang yang ada di alam semesta. Jika dilihat dari sudut pandang alam semesta, bumi bagaikan setetes air di hamparan samudra. Sedangkan manusia menjadi seperti koloni bakteri dalam setetes air itu. Betapa dalam alam semesta ini masing-masing komponennya memiliki porsi, skala, dan signifikansi tertentu, seolah ingin menegaskan bahwa ada “batas” tertentu untuk setiap makhluknya. Angka-angka fantastis tersebut merupakan tamparan keras kepada umat manusia yang secara langsung dapat diartikan bahwa alam semesta ini tidaklah dibuat dalam skala manusia. Terbukti bahwa umumnya kita akan kesulitan, bahkan hanya untuk sekedar membayangkan jumlah angka nol di atas satu triliun, apalagi membayangkan triliunan bintang-bintang seperti matahari di seluruh alam semesta.

Untuk memudahkan pemahaman perbandingan usia alam semesta, Carl Sagan, seorang astronomer Amerika, mencoba membuat skala perbandingan usia alam semesta menjadi suatu kalender kosmik, yaitu membandingkan secara kronologis event di alam semesta dalam skala satu tahun. Pada kalender ini, satu hari sama dengan 38 juta tahun, satu jam adalah 1,6 juta tahun, dan satu menit mewakili 26 ribu tahun. Jika usia alam semesta, yaitu 13,7 milyar tahun, adalah satu tahun kalender kosmik dengan Big Bang pada 1 Januari, maka didapat perbandingan bahwa bumi baru terbentuk pada 6 september. Kemudian pada 14 September kehidupan pertama diawali dengan munculnya organisme uniseluler seperti virus, bakteri, dan archaea. Proses evolusi dari organisme uniseluler menjadi multiseluler berlangsung cukup lama, bahkan lebih lama daripada proses pembentukan galaksi pertama, yaitu pada 5 Desember. Baru pada 31 Desember pukul 14:24 manusia primitif pertama diperkirakan mulai muncul. Dari sini barulah kita mulai memahami bahwa ternyata virus dan bakteri merupakan bentuk primordial kehidupan, yang lebih dahulu ada di bumi ini. Sedangkan manusia adalah “tamu”, yang baru saja sekejap datang dan berusaha mengambil alih dunia. Apakah salah jika terjadi “perlawanan” oleh para pendahulu di bumi ini, atas “kudeta”mendadak yang dilakukan manusia saat ini? Lalu kemana saja berbagai virus dan bakteri berbahaya yang menimbulkan wabah itu bersembunyi, sebelum kemudian dengan tiba-tiba berhasil menginfeksi dan merenggut nyawa jutaan manusia seperti sekarang?

Kehidupan manusia primitif dahulu, sangatlah jauh berbeda dengan manusia modern sekarang. Baru sejak revolusi industri tahun 1750 hingga saat ini, bahan bakar fosil sebagai penopang utama kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat ini, membuat manusia mampu menginvasi hampir keseluruhan planet bumi bahkan hingga ke luar angkasa. Bila melihat angka tersebut di atas, ternyata sesuatu yang tampak sangat tidak signifikan (dalam konteks alam semesta) seperti manusia, ternyata mampu “mewabah” di bumi ini, hingga berani bermimpi untuk menjadi penguasa jagad raya. Sangat mengesankan sekaligus mengkhawatirkan, karena ternyata kini (2020) populasi manusia yang berjumlah sekitar 7,5 miliar menghadapi berbagai krisis akibat over populasi dan over eksploitasi alam.

Terlepas dari berbagai masalah kemiskinan, kesehatan, konflik politik dan kekuasaan, ilmu pengetahuan dan teknologi sepertinya merupakan tonggak utama sebagai penegak peradaban manusia modern, yang selalu diprioritaskan kemajuannya. Bahkan kemajuan manusia dalam ilmu sains, memungkinkan ilmuwan untuk melakukan modifikasi genetik pada tingkat terkecil di dalam sel makhluk hidup. Manusia mulai menyadari, bahwa pada level tak kasat mata inilah, terdapat kunci untuk mengubah sesuatu yang sudah ditetapkan ilahi. Ibarat seorang anak kecil yang diberi bangunan yang tersusun dari lego. Perlahan ia mulai menyadari bahwa bangunan tersebut bisa diubah menjadi apapun yang dia inginkan, dengan memodifikasi susunannya dan menganalisa perubahan morfologi dan fisiologi yang terjadi. Yang mengagumkan sekaligus mengerikan adalah, ia bisa memodifikasi dengan jutaan hingga milyaran cara, yang mungkin hanya terbatas oleh imajinasinya sendiri. Di sisi lain, dampak dari modifikasi dan perubahan genetik terhadap interaksi individu tersebut dalam ekosistemnya, dan secara umum terhadap interaksi dengan seluruh komponen di alam semesta ini belum sepenuhnya dapat dimengerti hingga sekarang. Dengan analogi sederhana, pernahkah terpikirkan bahwa masjid megah nan indah, dengan banyak pilar besar dan kuat itu, hanya bisa berdiri kokoh karena desainnya dengan cermat telah dihitung oleh sang arsitek? Mungkinkah apabila seorang pengunjung ingin mengubahnya dengan memotong dan mengganti beberapa pilar, dan berharap masjid itu tetap kokoh berdiri, atau bahkan berharap menjadi lebih baik?

Alam semesta ini adalah satu kesatuan daur energi, yang bila kita lihat secara keseluruhan, tidak ada satu partikel pun yang merupakan individu sejati. Kita semua adalah suatu produk, hasil perubahan energi yang kekal dalam siklus itu selamanya. Namun ternyata sikap egois dan individualis manusia telah mengantarkan peradaban kita di masa krisis seperti sekarang. Inikah pedang bermata dua yang menentukan kelangsungan atau kepunahan umat manusia? Pernahkah kita bertanya, bagaimana daun bisa dengan sangat efisien mengubah air dan karbon dioksida menjadi karbohidrat dan oksigen yang kita hirup, dengan presisi dan ketepatan reaksi tingkat molekuler diluar kemampuan manusia untuk bahkan sekedar menirunya? Dan itu hanyalah sebuah daun, dari sekian banyak komponen di sekitar kita. Bila dikaji lebih dalam, akan selalu ada keajaiban dibalik setiap fenomena di alam semesta ini, dan manusia sudah sangat maju dalam mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber daya alam menjadi teknologi modern untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Namun satu yang belum dapat ditiru dalam setiap teknologi yang kita diciptakan, yaitu daur energi yang efisien dan tepat guna. Energi merupakan kunci dari peradaban modern kita, namun persoalan utama bagi manusia saat ini bukan semata-mata tentang mencari sumber energi terbarukan, melainkan pengolahan dan penggunaan energi tersebut seefektif dan seefisien mungkin.

Ya, momok yang menjadi sumber masalah terbesar dari peradaban manusia modern saat ini adalah krisis prioritas. Apakah mengeringkan rambut menggunakan hair dryer berdaya 2000 Watt adalah kebutuhan pokok kita? Ataukah terbang dari Jakarta ke London untuk liburan dan shopping dengan private jet yang menghabiskan bahan bakar sebanyak lebih dari 100 ton sah-sah saja hanya karena kita mampu? Jika saja kita mau sedikit berpikir, bahwa energi listrik yang dihabiskan untuk salon kecantikan selama setahun, yaitu sekitar 40.000 KWh, dapat menerangi desa pedalaman selama setahun untuk sekitar 100 keluarga. Ironis bukan, bahwa ternyata banyak manusia yang kehausan di tengah lautan, dan kelaparan di lumbung padi. Lalu dimana kaitan kemajuan teknologi umat manusia ini dengan wabah yang terjadi sekarang?

Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa kemajuan teknologi kini memungkinkan manusia untuk melakukan modifikasi genetik makhluk hidup. Berkembangnya isu mengenai senjata biologis dan rekayasa mikroorganisme patogen seolah-olah sudah menjadi tema “keseharian” media mainstream di negara kita. Ketika wabah virus menyerang, alih-alih mengkaji ulang kerusakan ekosistem dan pola hidup manusia, yang terjadi justru semua berlomba-lomba untuk menemukan vaksinnya sehingga perusahaan farmasi akan segera memproduksinya. Sungguh jika dilihat secara luas, ternyata wabah bisa jadi merupakan komoditas penting bagi kemajuan industri farmasi di seluruh dunia. Di sisi lain, kemajuan teknologi juga memungkinkan manusia untuk bepergian ke seluruh penjuru dunia, dalam waktu sangat singkat. Maka berbagai macam interaksi global ini juga akan memudahkan tersebarnya berbagai jenis patogen ke seluruh dunia. Manusia mendominasi hampir seluruh permukaan planet bumi dan mengeksploitasi berbagai macam sumber daya alam yang ada, bahkan banyak melakukan kerusakan yang irreversible. Kerusakan habitat dan perburuan liar menyebabkan kepunahan banyak spesies hewan, serta berubahnya behaviour & daur hidup banyak hewan-hewan lainnya. Adaptasi ini juga memungkinkan terjadinya interaksi silang patogen dan mikroorganisme antar spesies, maupun dari hewan ke manusia. Namun yang harus dipahami, keberadaan patogen merupakan salah satu faktor terpenting dalam.evolusi manusia.

Darwin, seperti di bukunya yang berjudul The Origin of Spesies, telah dengan cerdas menjelaskan bahwa evolusi merupakan kunci kehidupan yang ada di bumi ini. Proses perubahan dari manusia primitif hingga menjadi manusia modern seperti sekarang tidak lepas interaksi dengan organisme disekitarnya, khususnya patogen. Perang abadi antara inang dan patogen seperti yang terjadi sekarang ini, adalah bentuk dari seleksi alam dimana yang paling adaptif terhadap lingkungannya lah yang akan survive. Tanpa kita sadari, virus yang baru sekarang mewabah pun adalah “sahabat lama” yang sudah ada di sekitar kita. Evolusi virus yang sangat cepat memungkinkan munculnya strain baru, yang berpotensi menjadi wabah baru yang lebih berbahaya. Namun di sisi lain, manusia juga beradaptasi dengan imunitas yang lebih baik dalam merespon patogen yang ada.

Jika kita pelajari lebih lanjut, ternyata evolusi selama 4 miliar tahun telah secara cermat menempatkan berbagai organisme ke dalam berbagai ekosistem, sesuai dengan bentang alam yang ada di bumi. Interaksi antar makhluk hidup bagaikan sebuah roda gigi yang saling menggerakan ratai satu dengan yang lain, pada suatu mesin mekanik raksasa. Tiap komponen roda mewakili satu spesies unik makhluk hidup. Ketika satu persatu komponen itu hilang, punah, maka terjadi perubahan besar dalam sistem tersebut. Dari sudut pandang alam semesta, apapun kerusakan yang terjadi bukanlah suatu bencana besar karena apa yang terjadi merupakan reaksi berantai dari proses sebab-akibat. Mungkin bisa dikatakan bahwa dengan atau tanpa adanya manusia, alam semesta bisa jadi seolah bergeming dengan kemegahannya. Namun dari sudut pandang manusia, akankah kondisi bumi yang dapat menopang kebutuhan hidup kita seperti sekarang dapat dipertahankan selamanya?

Ketika seluruh manusia bertanya-tanya, apakah tujuan dari virus yang mewabah sekarang ini? Para kepala negara dan politisi pun sibuk mendeklarasikan perang melawan pandemi, dan menghimbau rakyatnya untuk melakukan berbagai upaya pencegahan penyebaran wabah. Saling tuduh dan teori konspirasi pun mulai bermunculan tentang asal mula dari virus ini. Namun jika kita mau benar-benar melihat, bahwa makhluk bernama virus itu hanyalah satu dari sekian banyak ciptaan-Nya yang hidup di bumi ini sesuai dengan fitrahnya. Tidak ada niat jahat ataupun baik, tidak ada agenda politik ataupun rencana tersembunyi. Virus hanya bertujuan untuk bereproduksi dan mempertahankan eksistensinya di bumi ini, sama seperti seluruh makhluk hidup lainnya. Maka kita sebagai makhluk paling cerdas di dunia harusnya dapat berkaca dan memetik pelajaran berharga dari wabah ini. Bahwa alam semesta diciptakan bukanlah tanpa aturan, dan bahwa hidup kita sebagai manusia bukan hanya untuk sekedar “ada” melainkan berusaha menjalankan peran kita sebagai Khalifah di bumi ini.

Batu, 20 April 2020