5/27/20

Tentang Waktu

Bagian kedua




Cahaya matahari pagi menyeruak dari sela-sela jendela kamar, terdengar sayup-sayup suara burung berkicau merdu, seolah penuh suka cita merayakan keindahan pagi yang cerah ini. Cahaya bagiku memiliki makna yang sangat dalam. Setiap kali menatap berkas cahaya matahari pagi, selalu teringat masa kecilku bersama bapak, ibuk, dan adik laki-lakiku, Alif, dulu. Karena waktu itu belum ada listrik di desa kami yang terpencil, penerangan pada saat malam hari hanya mengandalkan lampu ublik kecil. Jangankan untuk membaca, untuk membedakan wajah saja sulit karena cahaya terlalu redup dan remang-remang. Pernah suatu saat aku iseng dan memakaikan kerudung di kepala Alif. Benar saja, karena redupnya cahaya ublik, ibuku mengira Alif adalah aku, dan menyuruhnya membantu mengupas bawang. Kami pun tergelak geli. Entah dari mana datangnya kegembiraan itu, tapi yang jelas harta bukanlah sumber kebahagiaan bagi kami sekeluarga. 

"Nguuuungggg..ngungggg" tiba-tiba terdengar suara seperti gergaji mesin dari luar rumah. Aku terkejut dan serta merta mengintip ke arah jendela. "Suara mesin apa yang mengganggu keindahan pagi yang cerah ini?" Pikirku dalam hati..

Namun dari jendela kamar yang menghadap ke barat ini, tidak tampak mesin apapun di luar. Hanya cahaya matahari pagi yang makin terang dan memenuhi kamar ini. Dulu, setiap malam aku tak sabar untuk segera tidur, agar pagi cepat datang dan sinar mentari segera menerangi rumah kami. Aku benci gelap dan dingin. Sangat menakutkan dan membuat perasaanku was-was. 

Ya, cahaya ini tetap sama seperti yang dulu. Matahari yang berusia sekitar 4,6 Miliar tahun ini, diperkirakan akan terus menyinari bumi dan planet lain di galaksi Bima Sakti selama 5 Miliar tahun lagi. Cahayanya diperkirakan membutuhkan waktu 8 menit untuk mencapai bumi. Waktu yang mengagumkan, mengingat jarak antara bumi dan matahari adalah sekitar 150 juta kilometer. Jika waktu 8 menit diberikan padaku untuk berlari, aku mungkin hanya akan mencapai pasar yang terletak sekitar 300m di dekat rumah mertuaku ini, itupun kalau tidak tersandung batu dan nyungsep di parit berbau ikan busuk di pinggir jalan. Relatif, begitulah kata para ilmuwan menilai waktu. Lantas apakah hubungan cahaya dengan waktu?

"Brakkkkkkkk!!!!!" Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh yang amat sangat keras. Saking kagetnya, langsung kusambar penebah yang terbuat dari lidi di samping kasur.

"Plaaakkkk" dengan keras kutepuk wajah mas Budi yang lagi asik tidur mendengkur, dengan penebah lidi itu.

"Aduuuuhhh!!!!" Teriaknya kesakitan sambil kebingungan merem melek memegang wajahnya yang memerah. 

"Apa sih Sri, ganggu orang tidur aja!! Emangnya aku laler apa, kok ditapuk pake penebah lidi begitu" katanya bersungut-sungut.

"Maaf mas aku ga sengaja.. lha itu lho ada suara keras dari luar dan ada teriakan anak2. Coba tolong sampeyan lihat dulu, ada apa di luar" Ujarku sambil menahan geli.

Rupanya bentuk mulut mas Budi yang tonggos, menyebabkan si penebah lidi itu mendarat tepat di bibir dan hidungnya. Alhasil bibir monyongnya jadi sedikit bengkak bak ikan Tembakang yang sedang menyedot plankton, dan hidung peseknya tampak bergaris-garis belang kemerahan dari bekas lidi tadi. "Inikah makna harfiah dari pria hidung belang?" Batinku geli.

"Iya-iya, sik kulihat dulu" ujarnya sambil bersungut sungut beranjak dari kamar, dan dengan malas menuruni tangga untuk keluar rumah.

"Waduh Sri, gawat!!" Ujar mas Budi tergopoh-gopoh kembali dari luar rumah. 
"Ada apa to mas, kok sepertinya heboh banget di luar. Tolong bilang jangan berisik ya, ini si Menik baru tidur lho" sahutku agak kesal.

"Itu lho, ternyata Bulik Siti lagi nebang pohon mangga besar di depan rumahnya. Lha itu, ada dua tukang bawa gergaji mesin, lagi motong batangnya. Nah satu dahan besar itu jatuh menimpa atap rumah ini. Pas di kamar si Bambang dan Wati!!" 

"Astaghfirullah, lha terus gimana, Wati dan Bambang gak papa kan?" Ujarku kaget.

"Nah itu dia, untungnya Bambang dan anak-anak lagi di teras. Di kamar cuma ada Wati lagi ngepel. Kata ibu tadi, kepala Wati luka tertimpa genteng yang jatuh kena dahan pohon." Ujar mas Budi yang tampak kebingungan.

"Ya sudah ayo kita lihat kondisi Wati mas" tukasku seraya mengajak mas Budi ke lantai bawah.

Rupanya semua anggota keluarga sudah berkumpul di teras. Tampak Wati yang sedang kesakitan memegangi kepalanya, dan ibu mertuaku sedang mengambil kotak obat di lemari.

"Dik Wati, gimana kepalanya? Apa lukanya besar?" Tanyaku pada Wati.

"Gak besar kok lukanya Mbak, cuma aku sebel banget sama tukang gergaji suruhan Bulik Siti itu, kok kurang ajar sekali nebang pohon gak hati-hati malah bikin celaka orang lain. Untung anak-anak pas lagi main di luar. Kalo kena juga kan bahaya" ujar Wati berang. Matanya membelalak merah dan berkaca-kaca, wajahnya pun merah padam dan berkeringat, seolah mengutuk dalam hati dan ingin membalas perbuatan Bulik Siti dan tukang gergajinya itu.

"Iya sudah, namanya juga kecelakaan kan ndak sengaja. Ayo sini ibu bersihkan lukanya" ujar ibu mertuaku, sambil menyiapkan kasa steril, alkohol, dan obat luka. Tampak dua benjolan merah sebesar separuh bola tenis menyembul dari balik rambutnya. Aku mendelik ngeri melihatnya. Seketika aku teringat salah satu karakter di film Star Wars, Kapten Ackbar, yaitu spesies makhluk luar angkasa berkepala benjol yang disebut Mon Callamari, dengan adegan legendarisnya berteriak "It's a trap!!!!". Persis seperti kondisi Wati yang seolah terjebak kemelut yang dibuatnya sendiri.

"Sepertinya perang antara Wati dan Bulik Siti baru saja akan dimulai." Pikirku dalam hati. 

Antara khawatir dan penasaran, sejujurnya aku tak sabar menanti kelanjutan drama kedua wanita yang sama-sama keras kepala itu. Ya, hukum Newton Kedua yang Wati terapkan ke sampah daun mangga Bulik Siti tempo hari, sudah dibalas dengan tangan dingin oleh Bulik Siti, juga menggunakan hukum Newton, gravitasi, tepat mengenai kepala Wati yang sekarang benjol itu.

"Sssst.. mbak Sriii...sini aku kasih tau" Tiba-tiba lenganku ditarik oleh Ida dan diajaknya ke dapur. Sambil berbisik, dia kembali berujar

"Mbak, kok kayaknya bulik Siti itu sengaja mbalas si Wati ya"

"Ah kamu itu jangan mikir aneh-aneh Da, namanya juga kecelakaan, kan pasti gak sengaja. Lagian Bulik Siti kan orangnya selalu baik sama kita" jawabku berusaha meredam kecurigaan Ida. Aku khawatir jika Ida makin penasaran dan mulai menghasut anggota keluarga lainnya. Bisa perang saudara betulan nanti.

"Lha mbak Sri ini piye to, mosok ga tau kalo kemarin itu Bulik Siti berantem sama Paklik Parjan, teriak-teriak banting pintu juga lho."

Jawab Ida berapi-api sambil memonyongkan bibir mujairnya yang dipulas lipstik merah. Matanya yang bulat dengan celak hitam pekat tampak mendelik nanar. Ekspresi sinisnya makin dramatis dengan alis setebal 1,5 cm yang digambar lebih tinggi dari aslinya,  menukik tajam membentuk sudut 100°. Makeup super menor ala Ida ini agaknya terinspirasi dari film Dendam Nyi Blorong favoritnya.

"Iya Da, Aku juga dengar. Sepertinya Bulik Siti tersinggung dengan perbuatan Wati kemarin, jadi pohon mangganya langsung ditebang. Tapi untuk insiden dahan jatuh tadi sepertinya benar-benar ndak sengaja Da." Ujarku pelan.

"Hmm iya sih mbak, mungkin aja gak sengaja. Tapi kok pas banget gitu, jatuhnya di kamar Wati. Benar-benar kebetulan yang aneh kan?"
Sahut Ida sambil memicingkan matanya, dan ngeloyor pergi ke teras.

"Wah bahaya ini, kalau Ida sampai menghasut Wati untuk membalas Bulik Siti lagi, bisa-bisa perang terus berlanjut bak drama kolosal Cina 60 episode itu" Gumamku dalam hati.

"Aduuh panas nih sekarang rumahnya"

ujar Marni di teras, sambil menyipitkan matanya mengawasi tukang yang sedang memotong dahan pohon mangga besar itu. Cahaya matahari sekarang penuh menyinari teras rumah ini, terik sekali. Sebelumnya, dahan pohon mangga itulah yang meneduhi, sehingga terasa sangat sejuk pada siang hari.

Cahaya itu memang sangat unik. Ia memiliki sifat pemalu. Ketika kita berusaha mengejar cahaya, dan meningkatkan kecepatan untuk mencoba menangkapnya, ia akan mempercepat dirinya dengan jumlah yang sama dengan kita. Jadi seberapa cepat kita berusaha mengejarnya, cahaya akan selalu lebih cepat di atas kita, sehingga selisih kecepatan yang terjadi akan selalu sama. Hal ini lah yang disebut oleh para cendekiawan dengan konstanta kecepatan cahaya, yaitu 299.792.458 meter per detik. Konstanta inilah yang digunakan untuk mengukur waktu, seperti halnya kita mengunakan meteran untuk mengukur jarak. Suatu jarak dalam waktu, adalah jumlah waktu yang diperlukan cahaya untuk melintasi jarak tersebut pada suatu ruang. 

Tampak halaman Bulik Siti kini sudah bersih kembali. Sampah daun dan genteng atap yang rusak pun sudah diperbaiki oleh tukang gergaji itu. Tak lupa mereka juga minta maaf pada ibu mertuaku dan si Wati, yang kemudian bersungut-sungut pergi mengunci diri ke kamarnya. Ibu mertuaku hanya bisa menghela nafas panjang, sambil menyuruh kedua tukang gergaji agar cepat pulang.

"Njih mas ndak apa-apa, Wati cuma benjol saja kepalanya kok, ndak ada luka serius. Lain kali sampeyan berdua hati-hati ya. Sudah cepatlah pulang dan istirahat. Maturnuwun sudah membersihkan halaman dan memperbaiki genteng rumah kami" ujar ibu mertuaku sambil menyodorkan bungkusan berisi makanan. Kedua tukang gergaji itu menerimanya dengan penuh suka cita dan pamit pulang. Wati masih mengunci diri di kamar, entah apa yang ada di benaknya sekarang.

Cahaya matahari makin terik, namun di ujung timur tampak awan hitam raksasa sudah menggantung dan berarak perlahan. Makin dekat ke arah sini. "Sepertinya sore ini akan hujan" Gumamku dalam hati.

Waktu begitu cepatnya berlalu. Sekarang sudah hari terakhir puasa, dan insiden yang membuat benjol si Wati tadi, sungguh merupakan kejadian tak terduga bagi kami sekeluarga. Anehnya lagi, Bulik Siti yang biasanya ramah, sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya hari ini, bahkan untuk sekedar kerumah minta maaf atas kelalaian tukangnya tadi.

"Apakah benar kata Ida, kalau Bulik Siti memang sengaja membalas perbuatan Wati tempo hari?"

Pikiranku terbang membayangkan adegan Wati tertimpa pecahan genteng, dan terjerembab mencium ember berisi kain pel di depannya. Ya, hukum gravitasi memang akan berlaku universal, tanpa memandang dendam dan sakit hati. Namun, keputusan menebang pohon yang jelas-jelas salah satu cabang besarnya menggantung di atas kamar Wati, bisa jadi dilandasi kejengkelan Bulik Siti terhadap Wati. Akhirnya Bulik Siti mungkin menyadari bahwa gravitasi ternyata bisa menjadi alat bantu membalaskan sakit hatinya. Lantas adakah hubungan antara gravitasi dan waktu?

Gravitasi, waktu, dan cahaya memiliki hubungan yang sangat spesial. Para ilmuwan menemukan bahwa tenyata waktu bergerak lebih lambat pada kondisi gravitasi yang lebih besar, demikian pula sebaliknya, waktu akan menjadi lebih cepat pada gravitasi yang lebih kecil. Albert Einstein pertama kali mengungkapkan ide tersebut pada tahun 1907, dengan istilah "dilatasi waktu". Fenomena ini berdampak pada jumlah waktu yang telah berlalu, pada dua peristiwa yang sedang berlangsung oleh pengamat yang terpisahkan dengan jarak dan gravitasi berbeda. Persis seperti fenomena perbedaan usia di film Interstellar yang terkenal itu. Gravitasi pun ternyata berpengaruh terhadap cahaya. Ternyata cahaya yang merambat lurus, akan melengkung ketika melintas di sekitar benda bermassa sangat besar, seperti bintang neutron dan lubang hitam. Fenomena ini dijelaskan oleh Einstein dalam teorinya yang disebut Relativitas Umum.

Waktu, mengikuti persamaan sederhana, yaitu "kecepatan berbanding lurus dengan jarak yang dibagi waktu tempuh". Maka kecepatan, dalam hal ini cahaya, yang memiliki kecepatan tetap, akan membutuhkan waktu lebih banyak ketika melintasi Medan gravitasi besar. Hal ini disebabkan terjadinya kelengkungan yang menyebabkan jarak tempuh menjadi meningkat.

Contoh terjadinya fenomena ini adalah pada GPS di ponsel yang kita gunakan sehari-hari. Satelit GPS berada pada ketinggian sekitar 20.000 km di atas permukaan bumi. Maka, medan gravitasi bumi di jarak sejauh itu akan lebih lemah dibandingkan ketika berada di permukaan bumi. Hal ini menyebabkan waktu bergerak lebih cepat pada satelit dibandingkan dengan waktu di permukaan bumi. Maka para ilmuwan harus menyesuaikan perbedaan waktu yang terjadi, pada program satelit. Jika tidak, maka sistem navigasi GPS di ponsel tidak akan akurat, dan tidak dapat digunakan lagi.

"Kwok...Kwok!!"
Tiba-tiba nada dering suara kodok di ponsel mas Budi mengagetkan lamunanku. Ponselnya yang tergeletak di meja kamar, berkali kali berbunyi dan mengganggu si Menik yang sedang tidur siang.

"Tumben mas Budi keluar rumah ga bawa hape" pikirku heran.

Akhirnya aku ambil ponsel itu, dan berusaha menon-aktifkan nada dering kodok yang menyebalkan itu.  Ternyata ada 10 panggilan tak terjawab dan 5 pesan singkat yang masuk di ponsel mas Budi. Terlihat nama penelpon itu adalah "W". "Aneh sekali" pikirku. Tak biasanya ada nama yang hanya inisial saja. Karena penasaran, akhirnya kubuka saja pesan masuk itu, lalu kubaca.

"Mas Budi, kapan kita ketemuan lagi di Hotel seperti kemarin. Aku kangen loh"

Bak tersambar petir, tanganku bergetar hingga ponsel mas Budi hampir jatuh dari tanganku. Aku terduduk lemas, dan meneruskan membaca kembali pesan yang lain, yang ternyata berisi percakapan mesra dan tidak senonoh antara suamiku dengan si W itu. Lututku lemas, tanpa sadar aku sudah berlutut di lantai sambil kebingungan dan berusaha memahami semua ini. Tak terasa air mataku mulai mengalir, makin lama makin deras, membasahi pipiku. Aku terisak selama hampir satu jam di kamar, sambil terus berusaha mencari pesan-pesan lain di ponsel mas Budi. Lalu kutemukan banyak sekali, ratusan, mungkin ribuan percakapan antar mas Budi dengan banyak perempuan. Ada banyak pula foto dan screenshot mas Budi melakukan video call dengan perempuan-perempuan itu. Hatiku remuk. Tiba-tiba semangat hidupku hilang, dan muncul rasa sakit dan sesak luar biasa di dadaku.

"Cobaan apa lagi ini yaa Allah" ratapku dalam hati.

"Bisakah aku melewati Ramadhan ini dengan penuh kebahagiaan seperti yang lainnya?"


Bersambung..

No comments :

Post a Comment